Opini  

Jangan Ada Korupsi di Antara Kita

Korupsi kan enggak cuma nyolong duit Negara. Ngaret masuk kerja juga termasuk korupsi. Hal ini dikemukakan kepada saya saat berkumpul dengan kelompok anak muda di  komunitas beberapa waktu lalu.

Oleh : Rahmat Junaidi

Di tengah terganggunya kinerja KPK dengan persoalan Internal dan persiapan menjelang Pilkada di beberapa daerah secara serentak di 2024, janji para politisi untuk Indonesia yang lebih baik mulai bertebaran.

Antikorupsi masih didengungkan walau samar. Sejauh mana anak muda percaya jika ternyata hasil kerja mereka masih minim karena terlampaui terjerumus pada pencitraan belaka.

Kaget? Rasanya tidak. Hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2022 yang dikeluarkan lembaga Tranparency International pada akhir Januari kemarin merosot sampai empat poin. Sebuah penurunan paling drastis sejak 1995.

Skor Indonesia dari sebelumya 38 menjadi 34 poin, dengan skala 0 untuk sangat korup hingga 100 untuk sangat bersih. Angka ini membawa kembali Indonesia skor IPK pada 2014.  Transparency International Indonesia  menilai, amblasnya indeks ini membuktikan strategi dan program pemberantasan korupsi yang diterapkan saat ini tidak efektif..

Lebih Transparan

Sebagian anak muda yang menjadi pemilih pada Pilkada 2024 nanti memang awam dengan peraturan politik. Namun, insting dan naluri mereka tajam dalam menentukan mana politisi yang jujur atau hanya kadar jargon kampanye.

Anak muda yang terdiri dari generasi Z dan milenial ini menguasai proporosi suara, yakni sekitar 53,8 persen. Berdasarkan data dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada akhir 2022 dari survei terhadap responden berusia 17-39 tahun, kriteria pemimpin yang utama bagi mereka adalah jujur dan antikorupsi. Mereka juga menginginkan pemimpin yang memiliki kemampuan membuat perubahan dan berinovasi.

Beberapa anak muda yang untuk kedua kalinya akan memilih dalam Pemilu  mengakui, perilaku korupsi terlanjur masuk dalam keseharian.”Korupsi, kan enggak Cuma nyolong duitnya Negara. Ngaret masuk kerja atau waktu kerjanya belum selesai tapi udah pulang juga termasuk korupsi,” kata mereka.

Suka tidak suka, lanjutnya, banyak anak muda ikut berperilaku koruptif karena melihat contoh para seniornya. Bukannya tidak mau berubah, tapi ketika ikut masuk dalam sistem yang sudah korup, mereka seakan tak punya pilihan karena ditekan dari atas.“Kalau aku, mulai berusaha untuk mulai dari diri sendiri aja dulu deh. Kayak waktu kerja tadi, aku ikuti prosedurnya. Dari kesehatan aja untuk ke arah yang lebih besar walau aku tahu sulit kayak udah jadi kebiasaan sama generasi sebelumnya, kan? Kata mereka lagi.

Berbicara Pilkada 2024, anak muda ini  tak minta muluk-muluk. Pengalamannya pada pemilu 2019 menjadi pelajaran. Termakan kampanye sebuah partai baru yang berisi anak muda dengan semangat antikorupsi yang menyala. Mereka pun meyakinkan orang-orang di tempat tinggalnya untuk mau memilih partai dan calon dari partai tersebut.

“Eh, nyatanya isinya maaf-maaf korup juga. Ha-ha-ha. Jadi aku belajar, makin dia teriak paling kenceng antikorupsi, hati-hati, berarti dia yang paling korup,” ujarnya sambil tertawa.

Anak muda yang laini yang masih duduk di bangku SMA berpendapat tak jauh berbeda. Pilkada 2024 akan menjadi debutnya sebagai pemilih. Ada kekhawatiran karena hingga saat ini belum terlihat pemimpin ideal.

“Memang kalau mau keluar dari masalah yang ada di Negara ini diawali dari enggak korupsi. Yang paling aku tangkap, biar enggak korupsi itu harus transparan informasinya, prosesnya. Jadi, kita semua tahu,” ucapnya.

Hal ini juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari yang bisa dilakukan seorang siswa SMA. Misalnya, tidak menggelapkan uang sekolah atau uang kegiatan yang diberikan orang tua dan tidak menyalahgunakan izin dan kepercayaan dari orang tua. “Ada kan, yang uang kegiatan Rp. 200.000,- tapi mintanya Rp. 300.000,-. Atau, pergi ke mana, tapi bilangnya ke mana,” jelas siswi yang pernah ikut program pendidikan khusus calon pemimpin ini.

Dari program yang diikutinya, dia  juga melihat transparansi yang ada dalam benaknya seperti harus menghadapi tembok tinggi karena taktik politik yang kadung sarat aksi korup. Namun, ia berharap kelak transparansi sistem di berbagai hal dapat terwujud agar tidak ada lagi orang yang korupsi.

“Kalau memang mau bilang antikorupsi, harusnya berani untuk transparansi ya. Antikorupsi itu bukan Cuma gimmick saat kampanye,” ujarnya.

Sejatinya, anak muda menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. Kini, mereka jauh lebih paham meski terlihat awam. Mereka butuh bukti, bukan pencitraan saja. Sebaiknya memang jangan ada korupsi di antara kita. Ya, kan ?.

*) Rahmat Junaidi : Pengawas Reformasi Birokrasi dan Tipikor Inspektorat Bojonegoro

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *