Liputan Khusus : ‘Tsunami’  Gratifikasi (4)

Reporter : Tim ID

Insandata.com – Eksplorasi data tim ID menghasilkan sinopsis yang menunjukan celah penyalahgunaan keuangan daerah terbanyak adalah akibat buruknya perencanaan kegiatan di satuan kerja perangkat daerah. Buruknya perencanaan ini mengesankan adanya kesengajaan untuk memperlonggar kebijakan penyerapan dan pelaksanaan kegiatan dengan keluar dari kaidah baku tata kelola keuangan negara.

Pemerintah Kabupaten selayaknya lebih fokus melakukan pembenahan pada perencanaan dan rasionalitas rencana kerja satuan perangkat daerah, sehingga benar-benar bisa dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum dengan SDM pelaksana yang ada.

Pembentukan Penyuluh Anti Korupsi memberi kesan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro cenderung ingin mengalihkan fokus  pemberantasan korupsi. Pemerintah daerah seharusnya lebih fokus dalam memperbaiki mentalitas tata kelola keuangan daerah.

Pengalihan anggaran pemutus Covid-19 oleh Dinas Kesehatan tahun anggaran 2021 menjadi bantuan sosial tanpa melalui mekanisme peraturan perundangan di era tata kelola keuangan yang akuntabel adalah hal yang sangat mengerikan. Bagaimana mengelola keuangan negara bisa vulgar seperti itu?

Penggelontoran Bantuan Khusus Keuangan (BKK) kepada desa tanpa diimbangi kecakapan SDM pemerintah desa yang memadai dalam tata kelola pengadaan barang dan jasa, justru menimbulkan pembenaran masal, jika pengaturan lelang  pengadaan barang dan jasa adalah hal yang tidak bertentangan dengan hukum.

Fakta membuktikan, kasus-kasus BKK kepada desa yang saat ini telah dilakukan penyidikan dan penuntutan, ditemukan kesalahan awal adalah di proses pengadaan barang dan jasa. (kasus pekerjaan BKD di Kecamatan Padangan dan Sekar).

Hal itu terbuka kemungkinan pemerintah desa yang lain melakukan hal sama, karena kurangnya pemahaman dan pelaksanaan tata kelola keuangan negara sesuai peraturan, namun dipaksa untuk menjalankan dengan memberikan kelonggaran-kelonggaran dengan imingi-iming “rewards” dari kegiatan tersebut.

Begitupun juga dengan persoalan penerimaan reward dari pengadaan mobil siaga desa yang berawal dari BKK kepada desa untuk Pengadaan Mobil Siaga. Pemberian reward tersebut terjadi karena adanya pengkondisian kontraktual yang menguntungkan pihak ketiga, sehingga pihak ketiga memberikan reward kepada pejabat pemerintah desa.

Reward kepada penyelenggara negara diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 5 ayat (1), dapat dikategorikan sebagai gratifikasi dan atau tindak pidana suap karena penerimaan gratifikasi ini ada sebab transaksional/ kontraktual/tender dengan ancaman pidana 1 sampai dengan 5 tahun.

Penerimaan “gratifikasi” oleh pejabat desa adalah langkah blunder pemerintah kabupaten kepada pemerintah desa. Ketidakcakapan pengelolaan pengadaan barang dan jasa atas BKK kepada desa, sehingga pejabat pemerintah desa harus mengembalikan cashback sebagai bukti adanya kerugian negara.

Inilah kesuksesan Pemkab Bojonegoro yang telah menjerumuskan 384 orang kepala desa dalam kubangan kasus gratifikasi dan atau suap pengadaan barang dan jasa. Ini akan dicatat menjadi record paling mengerikan dalam sejarah tata kelola keuangan negara di Indonesia.

Seandainya penyusunan dan perencanaan tepat, tentunya pengadaan dapat dilaksanakan oleh Pemkab Bojonegoro secara prosedural, sehingga  pemerintah desa tinggal menerima bantuan langsung berupa mobil siaga. Tentunya hal itu akan lebih mudah dan praktis dalam pertanggungjawaban tata kelola anggarannya.

Sekian fakta buruknya ihwal tata kelola keuangan daerah, baik yang sudah ditangani penegak hukum ataupun yang belum adalah sinyal emergency. Justru Pemkab Bojonegoro masih bergumul dengan PAKSI yang sasaran nya tidak menyentuh penanganan darurat korupsi di Bojonegoro. (tim)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *