Efek ‘Bandul’ Transparansi Penegakan Hukum

Oleh : Fiska Maulidian Nugroho, SH, MSi

Insandata.com – Denotasi masyarakat “melek” hukum sedang mendapatkan momentum. Kini sinyal itu mengarah ke Aparatur Penegak Hukum (APH).

Adanya denotasi itu akibat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap deviasi dan penyerangan terhadap martabat ‘pro justitia’ yang terjadi akhir-akhir ini.

‘’Aparatur Penegak Hukum justru melakukan kekerasan terhadap HAM’’. Begitu Kontras memberi catatan kepada salah satu instansi penegak hukum. Rilis ini dikutip oleh Aliansi Jurnalis Independen di semester awal tahun 2024. Sebenarnya, beragam satiran “APH tidak melek hukum” sungguhlah mengecewakan, membuat pesimis, dan apriori terhadap penegakan hukum di negeri ini. Namun, apa boleh buat, snow ball effect kekecewaan ini akibat banyaknya rentetan kasus oleh oknum aparat penegak hukum yang seakan tiada hentinya.

Setelah kasus Ferdy Sambo, yang selanjutnya disusul Irjen Teddy Minahasa ihwal kasus Narkoba, justru kini muncul kasus-kasus baru yang justru memilukan bahkan menggiring opini peradilan sesat dan merusak sendi-sendi integrated criminal justice system.

Babak baru kasus Vina ihwal Pegi Setyawan, Afif Maulana, Ketua KPK yang dituduh melakukan pemerasan kepada calon tersangka, Hakim Agung Salsabila yang menerima suap, suap Ahsanul Qosasih petinggi BPK RI dan sekian puluh auditor BPK yang memeras entitas terperiksa, peredaran narkotika dan backing judi online yang melibatkan aparat, kasus tilang receh yang baru-baru ini terjadi di wilayah Polda Metro Jaya, menjadi penyulut opini bias publik terhadap aparat penegak hukum.

Fakta menunjukan adanya disparitas cara menanggapinya dan atau menyelesaikannya kasus-kasus tersebut. Penyelesaian tidak pada sumber masalah, yaitu talenta dan integritas aparaturnya. Tetapi teriakan netizen di medsos dijadikan indikator semua persoalan tersebut bisa timbul tenggelam yang akan menghasilkan indeksasi kepuasan atau justru sebaliknya, yaitu keterpurukan indeks layanan dan perilaku aparatur penegak hukum.

Masyarakat sering menemukan fakta dan kenyataan yang ambigu. Kondisi indeks perilaku penegakan hukum yang menukik ke bawah karena dipersepsikan oleh sikap netizen yang pesimis dan apriori, akan tetapi di satu sisi hasil survei instansi penegak hukum tersebut justru memperoleh reputasi yang prima.

Ekspektasi Masyarakat Sipil

Denotasi civil society pada dasarnya adalah harapan, akan pulihnya kembali kepercayaan pada proses penegakan hukum kita yang dirasa tidak adil, tidak tertib hukum, kesan tebang pilih dan anti kritik.

Nir trust – nir optimistik kepada penegakan hukum di Indonesia adalah situasi yang sebenarnya bentuk teror terhadap institusi penegakan hukum yang nyata. Ketidakhormatan pada pro Justitia dan instrument law enforcement dimulai dari perilaku aparatur APH itu sendiri. Masyarakat sipil merasa tidak mendapatkan teladan dari perilaku aparat yang seharusnya menjunjung tinggi perilaku taat hukum di institusinya sendiri.

Akibat dari itu, konflik norma aparat hukum menimbulkan bentuk penyelenggaraan tata tertib hukum yang represif :

  • Represif ditunjukkan dengan penggunaan kekerasan, menekan pihak yang tidak patuh atas ide politik atau kebebasan konstitusional demi meredam aksi pembangkangan/protes, menekan kebebasan berekspresi di medsos maupun di media pers mainstream.
  • Kriminalisasi merupakan bentuk pengontrolan resmi yang paling disukai, dan semangat hukum “darurat” mengemuka, karena tidak lagi adanya kesetiaan (loyalty) dari publik, sehingga negara menjadi semi-totaliter bahkan bisa saja totaliter demi menghindar dari ketakutan rangkaian perlawanan dan menganggap sebagai pemberontakan ide.

Bagian akhir tulisan ini perlu ditekankan, aparat penegak hukum yang harus ‘melek’ (profesional) dimaksudkan, agar mereka memahami, bahwa tindakan profesionalisme dan integritas dalam melaksanakan tugas pro justitia harus menghindari presekusi apalagi kriminalisasi.

Hukum itu sebagai sarana atau akses untuk penyelenggaraan ketertiban yang konstitusional, itupun dilegitimasi secara fair oleh sikap warga negara karena ada perasaan aman. Bukan ketertiban karena rasa ketakutan atas sikap represif aparat. Responsivitas terhadap pro-justitia atas kelembagaan di nyatakan baik, memang karena rasa aman dan nyaman atas perilaku aparat.

Bukan diukur dari hasil survei dan ornamen piagam penghargaan dari lembaga yang se-sub ordinat yang seolah menjadi trend di lembaga-lembaga negara pelayan publik.

 

*) Fiska Maulidian Nugroho, SH, MSi, Kandidat Doktor serta Pengajar di Fakutas Hukum Universitas Jember.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *