Salam Redaksi : Empati untuk Gus Nafik

Redaksi

Insandata.com – Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada dinamika politik menjelang Pilkada Bojonegoro 2024. Meskipun masih relatif lama, namun geliat intrik menuju pesta demokrasi lima tahunan tersebut semakin memanas.

Pernyataan Setyo Wahono (SW), adik kandung Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno untuk berlaga di Pilkada 2024, setidaknya merubah dinamika politik. Para pendukung SW tentu bersorak atas kesanggupan tersebut, karena merekalah yang sedari awal sibuk mempopulerkan SW ke pemilih.

Namun, bagi pihak yang apatis, pencalonan SW dianggap hanya sebagai boneka incumbent (petahana). Diketahui, selama ini hubungan Anna Muawanah dengan keluarga Praktikno baik-baik saja. Hal ini nampak dalam beberapa momen, Bupati Bojonegoro saat itu sering berkunjung ke Dolog Gedhe (kampung halaman Pratikno) ataupun kebersamaan di momentum lainnya. Pencalonan SW dianggap hanya sebagai gertakan memecah suara Nurul Azizah–Nafik Zahal yang sejak awal diragukan bisa lolos verifikasi faktual calon independen.

Maka, akan terjadi bias suara jika ada kandidat ketiga. Banyak prediksi yang menyebutkan, jika terjadi head to head antara Anna Muawanah melawan Nurul Azizah, maka pertarungan bisa akan sangat keras. Adanya kandidat ketiga, tentunya incumbent lebih diuntungkan karena basis politik dan ideologi yang jelas.

Namun, redaksi ID kali ini hanya akan menyoroti wacana dukungan dari Partai Gerindra dan Partai Demokrat yang tiba-tiba akan merekomendasikan Setyo Wahono dan Nurul Azizah. Sebelumnya kedua partai ini ‘nglepeh” untuk merekomendasikan Nurul Azizah sebagai kandidat calon dari partai mereka. Hal itu akhirnya memaksa Nurul Azizah mencari legitimasi dukungan dari pemilih untuk pencalonannya di jalur independen dengan cara mengandeng klan At-Tanwir.

Kyai Nafik Sahal adalah satu-satunya klan Mbah Kyai Sahal Maffud Al Mukarromah yang aktif di politik.

Tetapi anehnya, begitu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) telah menetapkan pasangan Nurul Azizah – Nafik Sahal sebagai salah satu kandidat yang memenuhi syarat, kini mulai ada tanda-tanda kemungkinan untuk bubar. Redaksi akan sedikit mengulas perjalanan karier politik klan At-Tanwir yang penuh “pendholiman”.

Seperti diketahui, saat itu kursi panas Gus Nafik (panggilan akrab Nafik Sahal) sebagai politisi terjadi saat dukungan pribadinya kepada Ketua DPC PKB Abdul Wachid Syamsuri (AWS) digoyang oleh KH. Maksum Amin di tahun 2004,yang didukung oleh Bupati HM. Santoso, Bupati Bojonegoro saat itu.

Konflik PKB di Bojonegoro semakin memanas karena di DPP PKB terjadi dualisme kepengurusan, yakni PKB Gus Dur dan PKB Matori Abdul Jalil. Diketahui AWS pro Gus Dur dan KH Maksum Amin-HM Santoso pro Mathori Abdul jalil. Kekutan AWS dan Gus Nafi yang hanya 4 orang di DPRD Bojonegoro harus berseberangan dengan 10 orang kawannya sendiri di Fraksi PKB dari total perolehan 14 kursi di Pemilu 2004.

AWS butuh kekuatan melawan sebagian besar kawannya di DPRD Bojonegoro yang didekengi Bupati Santoso, Ponpes Abu Dzarrin dan sebagian besar alumni ‘Langitan’ .

AWS yang sudah selayaknya menjadi Ketua DPRD Bojonegoro, melalui operasi senyap ‘dicacatkan’ moralnya agar tidak mendapatkan rekomendasi DPP PKB untuk menduduki kursi Pimpinan DPRD Bojonegoro, meski tuduhan itu tidak pernah dibuktikan secara hukum.

Sebenarnya, saat itu AWS pernah berargumentasi dalam suatu momen, kalau ada upaya pembunuhan karakter terhadap dirinya yang disebabkan adanya persaingan tidak sehat. Maka Gus Nafik-lah yang sebenarnya pantas menduduki Pimpinan DPRD Bojonegoro periode 2004-2009, karena basic At-Tanwir cukup legitimasi dan perolehan suara yang diperoleh oleh Gus Nafik juga signifikan.

Tetapi, setelah konflik berakhir di tahun 2008 dengan mundurnya HM. Santoso dari ketua DPC PKB versi Mathori, Gus Nafik tetap saja tidak mendapat tempat sebagai pimpinan DPRD Bojonegoro.

Begitu pula pembelotan PKB kubu AWS-Nafi Sahal yang tidak mendukung Santoso-Budi Irawanto (SOWAN) yang didukung PKB dan PDIP, tetapi justru mendukung Suyoto-Setyo Hartono (TOTO) yang notabene Suyoto adalah alumni At-Tanwir. Saat itu juga tidak ada madu apapun yang diterima Gus Nafik Sahal dan At-Tanwir usai Suyoto menjadi Bupati Bojonegoro.

Karier politik Gus Nafik Sahal penuh komitmen dan mengalir seperti air. Di 2009-2014 meskipun secara internal DPC PKB relatif tenteram, tetapi saat pergantian antar waktu (PAW) AWS di 2013, ternyata bukan Gus Nafik yang secara loyalitas politik seharusnya menjadi pengganti AWS menjadi pimpinan DPRD Bojonegoro.

Kini, saat Nafik Sahal dan At-Tanwir sudah di endang-endeng ke sana kemari untuk dukungan calon independen, akhirnya ada tanda-tanda harus di lepeh lagi dari konstelasi pertarungan Pilkada 2024. Abstraksinya, Gus Nafik dihadirkan saat diperlukan atau justru cuma dimanfaatkan?

Cara pandang Gus Nafik tentang politik memang sederhana. Menurutnya “Politik iku urusan ndunyo, ra perlu nemen-nemen. Politik kuwi intrik” ­(Politik itu urusan dunia, tidak perlu terlalu serius. Politik itu cuma intrik). Frasa itu dulu sering Gus Nafik sampaikan saat ada momentum kebersamaan dengan redaksi ID.

Akhirnya, filosofi Gus Nafi memang terbukti, Gerindra yang beberapa bulan diplot sebagai partai pendukung Anna Muawanah dengan target menduduki kursi calon Wakil Bupati Bojonegoro periode 2025-2030 tidak berakhir mulus. Pembelotan Gerindra ke SW diprediksi banyak pihak, karena tidak diakomodirnya kader mereka mendampingi Anna Muawanah sebagai calon Wakil Bupati. Sementara gambar dan slogan sudah menyebar, begitupula ekspektasi juga sudah terlanjur tinggi. Gerindra kecewa? Jelas!!

Kemungkinan adanya ketakutan Nurul Azizah jika ada 3 pasangan calon akan sulit menang melawan incumbent tentunya harus disiasati. Berkoalisi dengan SW dan menendang Gus Nafi Sahal tentunya sebuah siasat yang dianggap paling relevan.

Sinopsisnya, politik terkadang tidak ada ruang moral force. Benar kata Gus Nafik, cuma intrik dengan rebutan kekuasaan, dan rakyat tidak pernah ada. Rakyat hanya ada di saat uang akan di bagikan di pencoblosan. Setelah itu, rakyat akan kembali hilang. Sungguh naif, tapi inilah politik kita. Hari ini dengan kawan berjuang saja tega, apalagi rakyat yang cuma butuh uang 20 ribu saat pencoblosan.

Kata akhir untuk Gus Nafik, tetaplah di jalur santri, karena itu amanah leluhur !! Salam Waras dari redaksi ID.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *