Refleksi Pilkada Bojonegoro : Aristotelespun Menangis, Politik yang Beradab?

Salam Redaksi 

Pertunjukan panggung politik nasional maupun lokal mempertontonkan ketelanjangan moral force (kekuatan moral) kesantunan, kepatutan, unggah-ungguh, kepantasan, tepo sliro dan sinonim sejenis lainnya. Aturan main yang baku ihwal berpolitik, seolah hilang dari negeri ini.

Hukum dan Undang-Undang sebagai norma dasar bisa diubah sesuai keinginan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum ditendang, mata kuliah hukum dasar di fakultas hukum-hukum mengalami antitesa di periode ini.

Doktrin Machiavelli yang menghalalkan segala cara dengan menyingkirkan etika ataupun moral, saat ini banyak dianut. Nafsu hewani yang unggul untuk meraih semua konteks kekuasaan di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bukan hanya pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, pemilihan ketua RT, pemilihan komite sekolah, ataupun pemilihan pengurus HIPPA saja, saat ini sudah penuh intrik dan manipulatif. Tidak ada lagi semangat gotong-royong dan guyub yang mengedepankan musyawarah mufakat sebagai ciri khas atitude kebangsaan Indonesia yang semestinya tumbuh dan berkembang. Akhlak Pancasila dan agama sebagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara telah asing di negeri yang Berbhineka Tunggal Ika ini.

Pasca pemilihan presiden dan legislatif, kini masayarakat Indonesia dihadapkan pada pemilihan kepala daerah yang akan dilangsungkan secara serentak pada tanggal 27 November 2024 mendatang. Energi ingin berkuasa atas penyelenggaraan negara di tingkat nasional kini ditranformasi ke seluruh daerah di Indonesia yang akan melakukan pemilihan kepala daerah. Hampir semua partai politik dan tokoh nasional dan lokal yang berambisi ingin berkuasa di daerah akan menggunakan seluruh energinya dalam menggalang kekuatan politik dan dukungan.

Begitupula fenomena di Bojonegoro saat ini, terkesan ambisi partai politik dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus) berusaha menguasai dukungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD Bojonegoro. Bahkan Pemenang pemilu legislatif di Bojonegoro nyaris tidak bisa mencalonkan kadernya untuk menjadi Bupati Bojonegoro. Seandainya benar prediksi ini, maka drama ini barulah secuil penggalan episode yang tentunya masih panjang lagi durasinya untuk ditonton.

Seandainya PKB Bojonegoro yang memiliki 13 Kursi pada akhirnya tidak bisa mencalonkan kadernya sebagai calon Bupati Bojonegoro yang notabene incumbent, tentunya ini merupakan episode yang anti klimak dari prediksi dua tahun terakhir, di mana incumbent pasti akan melenggang karena faktor elektabilitas dan hasil pemilu legislatif Februari 2024 kemarin.

Persyaratan partai politik yang bisa mencalonkan bupati dan wakil bupati adalah memiliki minimal 10 kursi dan PKB Bojonegoro telah melewati ambang batas tersebut.

Jika hari ini incumbent dan PKB Bojonegoro merasa mendapatkan tekanan dari koalisi KIM, sehingga bisa menggagalkan pencalonan kadernya, dalam konteks norma politik kekinian, hal itu bukan sesuatu yang luar biasa.

Norma saling menginjak, saling, berbalas adu kekuatan akses kekuasaan adalah tontonan politik yang biasa-biasa hari ini. Karena jika kita flashback tiga bulan ke belakang, apa yang dialami oleh incumbent dan PKB Bojonegoro hari ini, juga telah dilakukan oleh mereka dalam konstelasi politik lokal Bojonegoro.

Bagaimana tidak, PKB Bojonegoro tiga bulan yang lalu hampir menguasai dukungan seluruh partai politik untuk mencalonkan kadernya (incumbent). Relasi sebab akibat dari itu, salah satu Kompetitor bakal calon bupati/wakil bupati harus susah payah menempuh pencalonan jalur independen. Hal itu karena ketiadaan partai politik yang bersedia mengusungnya. Hampir seluruh parpol yang memiliki kursi di DPRD Bojonegoro akan mengusung kader PKB.

Ketamakan dibalas ketamakan, kerakusan dibalas kerakusan adalah sesuatu yang appeal to appeal. Jadi itu hal yang lumrah, dan itu merupakan pilihan politik serta tidak ada yang perlu merasa didholimi dan playing victim, karena semua satu level yang sama. Hukumnya asu gedhe menang kerahe begitu orang jawa menasehati. Begitu juga yang terjadi hari ini, nanti akan ada rotasi, seperti roda berputar, kita akan saksikan.

Kini, politik tidak seperti kriterea Aristoles. Menurutnya, politik untuk menabuh kebijaksanaan, ketinggian norma dan akhlak, toleransi, saling mengasihi dengan tujuan bersama mengikat dalam tali kesejahteraan bersama berdasarkan mandat Tuhan Yang Maha Esa.

Politik hari ini adalah tontonan ketamakan, rakus, hasud, kejam dan memakan kawan dan lawan merupakan kelaziman. Kesimpulan ini didapat jika memakai cara pandang filosofi Aristoteles.

Kami maupun anda sebagai pembaca bisa mempunyai cara pandang sendiri-sendiri. Tetapi di redaksi , kami sepaham dengan Aristoteles!
Salam Redaksi.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *