Insandata.com Kasus korupsi yang menjerat mantan Menteri Pertanian SYL menjadi ironi yang semakin menambah pesimisme meningkatkan kesejahteraan petani. Kementerian Pertanian sebagai reperesentif negara untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian yang tujuan akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia masih harus melewati jalan yang panjang.
Indikator Kesejahteraan masyarakat Indonesia yang diriliis oleh Badan Pusat Stastitik pada Nopember 2023 menunjukan, rumah tangga yang berpenghasilan dari sektor pertanian berkontribusi besar pada prosentase angka kemiskinan di Indonesia.
- Prosentase kemiskinan pada sektor pertanian di daerah urban pada tahun 2020 sebesar 23,57 %, tahun 2021 sebesar 31,00% dan tahun 2022 sebesar 28,68 %
- Prosentase angka kemiskinan di sektor pertanian yang berada di pedesaan pada tahun 2020 sebesar 62,39%, tahun 2021 sebesar 67,22% dan pada tahuin 2022 sebesar 67,57 %.
- Sementara prosentase kemiskinan di sektor pertanian yang berada di daerah antara pedesaan dan perkotaan pada tahun 2020 sebesar 46,30%, tahun 2021 sebesar 51,33% dan tahun 2022 sebesar 49,89%.
Rumah tangga miskin yang tidak bekerja berdasarkan data BPS rata-rata dibawah 15% pertahun sedangkan yang bekerja di sektor pertanian rata-rata prosentasenya diatas 50% pertahun. Artinya petani yang bekerja masih lebih miskin dari pengangguran di Indonesia. Prosentase diatas bisa di perbandingkan data dibawah ini :
- Prosentase kemiskinan dari pengangguran di Indonesia, di daerah urban pada tahun 2020 sebesar 18,25%, tahun 2021 sebesar 15,61%, dan tahun 2022 sebesar 12,97 % .
- Prosentase kemiskinan dari rumah tangga pengangguran di pedesaan pada tahun 2020 sebesar 12,74%, tahun 2021 sebesar 10,78%, dan tahun 2022 sebesar 9,40%.
- Prosentase kemiskinan dari rumah tanggga pengangguran di daerah antara pedesaan dan perkotaan pada tahun 2020 sebesar 15,02%, tahun 2021 sebesar12,90%, dan tahun 2022 sebesar 11,03%.
Dengan memahami data dari edisi ‘Insert data’ berita ini sebelumnya, petani yang mengelola lahan pertanian justru lebih miskin dari rumah tangga yang tidak produktif. Artinya pengelolaan lahan pertanian akan terbebani biaya produksi dan akhirnya akan menggerus modal yang akan ditutup dengan hutang. Siklus gali lubang tutup lubang hutang menjadi rutinitas petani setiap akhir masa panen.
Konsumsi harian dan kebutuhan hidup lain, layanan kesehatan, pendididkan, kecukupan gizi, rumah layak huni akan terkurangi akibat harus digunakan untuk menutup biaya produksi pengelolaan lahan pertanian. Kondisi seperti ini terjadi secara terus menerus.
Hasrat petani keluar dari garis kemiskinan apalagi sejahtera masih menjadi mimpi ? (tim)